Ria dalam Beribadah
![]() |
| Foto oleh Clé Manuel |
Salah satu
syarat diterimanya ibadah kepada Allah Subhanahu
wata’ala adalah menjauhi ria (riya’)
dalam beribadah, baik yang hukumnya wajib atau pun sunah.
إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ
وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ
يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا ١٤٢
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria (dengan salat) di hadapan manusia.
Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa`:
142).
Seseorang
yang melakukan amal baik agar dilihat dan diketahui orang lain, kemudian berita
tersebut tersebar kepada orang-orang, hal ini juga termasuk ke dalam dosa
syirik. Ancaman hukuman bagi orang yang melakukan ini terdapat dalam hadis yang
dikisahkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Barang siapa yang melakukan
sesuatu untuk dilihat dan didengar orang lain, Allah akan menjadikan dia untuk
dilihat dan didengar sebagai contoh pada yang lain.”[1]
Bagi mereka
yang melakukan berbagai amal ibadah demi Allah dan orang lain, amalannya tidak
akan diterima, seperti dinyatakan dalam hadis qudsi. “Aku merasa cukup bahwa Aku tidak butuh sekutu apa pun. Demikian pula
dia yang melakukan amal demi orang lain serta Aku, akan Aku tinggalkan padanya
yang bersekutu dengan Aku.”[2]
Hal ini
mungkin bisa terjadi pada seseorang yang awalnya melakukan amal ibadah karena
Allah, lalu timbul keinginan untuk memamerkan perbuatannya pada orang lain,
misalnya berfoto ketika salat, mengaji, berzikir dan melakukan ibadah lainnya.
Jika dia
berpendirian bahwa niat amalnya masih bisa diterima karena dia merasa berserah
diri dengan ikhlas, sedangkan menurut pendapat ulama masyhur amalan dia tidak
bisa diterima karena perbuatan ria yang dia lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Shalih Al-Munajjid. 2004. Larangan Allah yang Sering Dilanggar. Terjemahan Wali Atmamudin. Jakarta.
Cakrawala Publishing.

COMMENTS