Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1

Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1, sejarah nabi, kapan nabi lahir, tempat lahir nabi, tanggal lahir nabi, kelahiran nabi, kisah nabi muhammad

Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1
Foto oleh Jim Liestman

A. Kelahiran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan di tengah Bani Hasyim di Mekah pada Senin pagi, tanggal 9 Rabiulawal, permulaan tahun dari peristiwa gajah dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M. Berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al Manshurfuri dan peneliti astronomi Mahmud Basya.[1]

            Ibnu Sa’d meriwayatkan, bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku menyinari istana-istana di Syam.”

Ahmad juga meriwayatkan dari Al Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.[2]

            Diriwayatkan bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra dan padamnya api yang biasa disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja-gereja itu runtuh ke tanah. Yang demikian ini diriwayatkan Al Baihaqi, sekalipun tidak diketahui Muhammad Al Ghazali.[3]

            Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan sukacita, lalu membawa beliau ke dalam Kakbah, seraya bedoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau dikhitankan pada hari ketujuh, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Arab.[4]

            Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibunya adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al Makhzumi.

B. Di Tengah Bani Sa’d
Tradisi yang berjalan di kalangan bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita-wanita yang bisa menyusui anak-anaknya. Sebagai langkah untuk menjauhkan anak-anak itu dari penyakit yang bisa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot-ototnya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih. Maka Abdul Muththalib mencari wanita dari Bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah bin Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, Al Harits bin Abdul Uzza, yang berjuluk Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.

Saudara-saudara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari satu susunan di sana adalah Abdullah bin Al Harits, Anisa binti Al Harits, Hudzafah atau Judzamah binti Al Harits, yang julukannya justru lebih populer daripada namanya sendiri, yaitu Asy-Syaima`. Wanita inilah yang menyusui beliau dan Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muththalib, anak paman beliau.

Peman beliau, Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini juga pernah menyusui Hamzah selagi beliau masih dalam susuannya. Jadi Hamzah adalah saudara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari dua pihak, yaitu Tsuwaibah dan dari Halimah As-Sa’diyah.

Halimah bisa merasakan berkah yang dibawa beliau, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Inilah penuturannya, sebagaimana dikatakan Ibnu Ishaq, bahwa Halimah pernah berkisah, suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan sesekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil susunya lagi walau setetes. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami tetap masih bisa mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Mekah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata, ‘Dia adalah anak yatim.’ Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah bersiap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, ‘Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-teman wanitaku tanpa membawa seorang bayi yang disusui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.’”

“Memang ada baiknya jika engkau melakukan hal itu. Semoga saja Allah mendatangkan berkah bagi kita pada diri anak itu.”

Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkalah menggendongnya seakan-akan aku tidak mereasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susunya sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Suamiku menghampiri untanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”

            “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh berkah,” kata suamiku pada esok harinya. “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.

            Halimah menlanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi menunggu keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan bersama di atas punggungnya. Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, ‘Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kami dulu?’”

            “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku yang dulu,” kataku. “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa,” kata mereka.

            Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d. Aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempis. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian seperti yang dilakukan gembalanya putri Abu Dzu’aib.” Namun domba-domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan setetes pun tidak mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi. Kami senantiasa mendapatkan tambahan berkah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun dia sudah tumbuh pesat.

            Kemudian kami membawa kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan berkahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Mekah.” Kami terus merayu ibunya agar dia berkenan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.[5]

            Begitulah Rasulullah tinggal di tengah Bani Sa’d hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, peristiwa pembelahan dada beliau.[6]

            Muslim meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya. Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempat semula. Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajah beliau semakin berseri.

C. Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu Halimah merasa khawatir dengan keselamatan beliau, hingga dia mengembalikan kepada ibu beliau. Maka beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Aminah merasa perlu mengenang suaminya yang telah meninggal dunia. Dengan cara mengunjungi kuburannya di Yastrib. Maka dia pergi dari Mekah untuk menempuh perjalanan sejauh lima ratus kilometer bersama putranya yang yatim, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, disertai pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Abdul Muththalib mendukung hal ini. Setelah menetap selama sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya siap-siap untuk kembali ke Mekah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak antara Mekah dan Madinah.[7]

D. Kembali ke Kakek yang Penuh Kasih Sayang
Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, Abdul Muththalib di Mekah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubari terhadap cucunya yang kini yatim piatu semakin terpupuk, cucunya yang harus menghadapi cobaan baru di atas lukanya yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang, yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.

Ibnu Hasyim berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Kakbah untuk Abdul Muththalib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib keluar ke sana dan tak seorang pun di antara mereka yang yang berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu. Paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat ini, dia berkata, ‘Biarkanlah anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung.’ Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”

Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kakek beliau meninggal dunia di Mekah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.[8]

E. Di bawah Asuhan Paman
Abu Thalib melaksanakan hak anak saudaranya dengan sepenuhnya dan menganggap seperti anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri, mengkhususkan perhatian dan penghormatan. Hingga berumur lebih dari empat puluh tahun beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela diri beliau.

F. Meminta Hujan dengan Wajah Beliau
Ibnu Asakir men-takhrij dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata, “Tatkala aku tiba di Mekah, orang-orang sedang dilanda musim paceklik. Orang-orang Qurasy berkata, ‘Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.’”

            Maka Abu Thalib keluar bersama seorang anak kecil, yang seolah-olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan-pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Kakbah. Jari jemarinya memegang anak itu. Langit tadinya bersih dari mendung, tiba-tiba saja mendung itu datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah-lembah terairi dan ladang-ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair dibacakannya,
            “Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya
            Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”[9]

G. Bahira Sang Rahib
            Selagi usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencapai dua belas tahun dan ada yang berpendapat lebih dari dua bulan sepuluh hari, Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam hingga tiba di Bushra, suatu daerah yang sudah termasuk Syam dam merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang-orang Arab, sekalipun di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira, yang nama aslinya adalah Jurjis. Tatkala rombongan singgah di daerah ini, maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelum itu rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dar sifat-sifat beliau, sambil memegang tangan beliau sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

            Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?” Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwat yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu dalam kitab kami.”

            Kemudian Rahib Bahira meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanannya ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang-orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Mekah.[10]

H. Perang Fijar
            Pada usia lima belas tahun meletus Perang Fijar angara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Quraisy dan Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usai dan kedudukannya terpandang. Pada awalnya pihak Qaislah yang mendapatkan kemenangan. Namun kemudian beralih ke pihak Quraisy dan Kinanah. Dinamakan Perang Fijar karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan-bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ikut bergabung dalam peperangan ini, dengan cara mengumpulkan anak-anak panah bagi paman-paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh.[11]



DAFTAR PUSTAKA
Al Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Ar-Rahiqul Makhtum : Sirah Nabawiyah. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008).


[1] Al Khadhri, Muhadharat Tarikhil Umam Al Islamiyyah (1/62); Rahmah lil-‘alamin (1/38-39). Ada perbedaan tentang penentuan tanggal bulan April, karena adanya perbedaan dalam kalender Masehi.
[2] Syekh Abdullah An-Najdi, Mukhtashar Siratil Rasul, hlm. 12.
[3] Muhammad Al Ghazali, Fiqhus Sirah, hlm 46.
[4] Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/59); Al Khadhri, Muhadharat Tarikhil Umam Al Islamiyyah, (1/62). Ada perbedaan pendapat, beliau dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitankan. Lihat Tallqihu Fuhumi Ahlil Atsar, hlm. 4. Ibnu Qayyim berkata, “Tidak ada hadis yang kuat mengenai hal ini. Lihat Zadul Ma’ad (1/18).
[5] Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/162-164).
[6] Begitulah menurut pendapat mayoritas pakar sejarah. Menurut riwayat Ibnu Ishaq peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun. Lihat Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/164-165).
[7] Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/168); Talqihu Fuhumi Ahlil Atsar, hlm. 8; Al Khadri, Muhadharat Tarikhil Umam Al Islamiyyah, (1/63); Fiqhis Sirah, hlm. 50.
[8] Talqihu Fuhumi Ahlil Atsar, hlm. 7; Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/69).
[9] Syekh Abdullah An-Najdi, Mukhtashar Siratil Rasul, hlm. 15-16.
[10] Syekh Abdullah An-Najdi, Mukhtashar Siratil Rasul, hlm. 16; Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/180-183); Disebutkan di dalam Kitab At-Tirmidzi dan lain-lainnya, bahwa Abu Thalib juga mengutus Bilal bersama beliau. Tentu saja ini merupakan kesalahan yang amat mencolok. Sebab boleh jadi saat itu Bilal belum lahir. Kalau pun sudah lahir, tidak bakalan dia bergabung bersama Abu Thalib atau pun Abu Bakar. Lihar Zadul Ma’ad, (1/17).
[11] Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (1/184-187); Qalbu Jaziratil Arab, hlm. 260; Al Khadri, Muhadharat Tarikhil Umam Al Islamiyyah, (1/63). Sekalipun perang Fijar ini berlangsung selama empat tahun, namun masa berkecamuknya hanya beberapa hari dalam setiap tahun. Selebihnya mereka kembali menjalani kehidupan seperti sedia kala, pent.

COMMENTS

Nama

Aplikasi,11,Doa dan Bacaan,3,Ebook,3,Edukasi,12,Fikih Laki-laki dan Wanita,13,Iman,10,Muamalah,13,Pengobatan,3,Penulisan dan Lain-lain,16,Puasa,2,Sakit,2,Salat,8,Sedekah,2,Sejarah,12,Seni,5,Thaharah,2,
ltr
item
ZIBINUMA: Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1
Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1
Kelahiran dan Empat Puluh Tahun Sebelum Nubuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Bagian 1, sejarah nabi, kapan nabi lahir, tempat lahir nabi, tanggal lahir nabi, kelahiran nabi, kisah nabi muhammad
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRYMIFKLeXou6uT1EC2CGW6sowKqNiGQvnjim21XdW2T4XYoNxHv3mcQui4looRkMvlcRqzKtMOfihKw9mDy36xJto0A3KreG6kVrpi_MzLbu7zIYF9j-FVTu5v3aK6msooQ4B8evQnnU/s640/Jim+Liestman3.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRYMIFKLeXou6uT1EC2CGW6sowKqNiGQvnjim21XdW2T4XYoNxHv3mcQui4looRkMvlcRqzKtMOfihKw9mDy36xJto0A3KreG6kVrpi_MzLbu7zIYF9j-FVTu5v3aK6msooQ4B8evQnnU/s72-c/Jim+Liestman3.jpg
ZIBINUMA
http://zibinuma.blogspot.com/2018/05/kelahiran-dan-empat-puluh-tahun-sebelum.html
http://zibinuma.blogspot.com/
http://zibinuma.blogspot.com/
http://zibinuma.blogspot.com/2018/05/kelahiran-dan-empat-puluh-tahun-sebelum.html
true
5481340784671165893
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All DISARANKAN UNTUK ANDA LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy