Salat Berjamaah dan Larangan Keras Meninggalkannya, hukum salat berjamaah, larangan meninggalkan salat jamaah, dasar hukum salat berjamaah
Foto oleh John Hallam |
Ar-Rabi’
bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, dia berkata : Asy-Syafi’i Muhammad bin
Idris Al Muththalibi mengabarkan kepada kami, dia berkata : Allah ‘Azza wajalla menjelaskan azan salat
dalam firman-Nya,
وَإِذَا نَادَيۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ ٱتَّخَذُوهَا
هُزُوٗا وَلَعِبٗاۚ
“Dan apabila kamu
menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan.” (QS. Al Ma`idah : 58)
Allah juga
berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا
نُودِيَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ
وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَۚ
“Hai orang-orang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah :
9)
Allah
mewajibkan untuk mendatangi salat Jumat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan azan untuk salat fardu,
sehingga dimungkinkan beliau mewajibkan kita untuk mendatangi salat jamaah
selain salat Jumat, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mendatangi salat Jumat
dan meninggalkan jual beli. Dimungkinkan pula mengumandangkan azan salat itu
agar salat dikerjakan pada waktunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
menjamak salat, baik dalam keadaan musafir atau mukim, dan baik dalam keadaan
takut atau tidak takut. Allah ‘Azza
wajalla berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمۡ فَأَقَمۡتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ
فَلۡتَقُمۡ طَآئِفَةٞ مِّنۡهُم مَّعَكَ
“Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat)
besertamu.” (QS. An-Nisa` : 102)
Asy-Syafi’i berkata : Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan orang yang mendatangi salat agar dia mendatanginya dengan tenang.
Beliau memberikan keringanan untuk tidak mendatangi jamaah karena ada halangan
seperti yang akan kami jelaskan nanti di tempatnya, Insya Allah.
Kesimpulan yang paling mendekati
kebenaran dari kitab dan sunah adalah seseorang tidak boleh meninggalkan setiap
salat fardu secara jamaah agar sekelompok orang yang mukim atau musafir tidak
pernah berhenti diadakan salat jamaah di tengah mereka.
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ اْلأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللٰهُ عَنْهُ أَنَّ
رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ, ثُمَّ
آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا, ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا
فَيَؤُمَّ النَّاسَ, ثُمَّ أُخَالِفَ إلَى رِجَالٍ يَتَأَخَّرُونَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ, فَوَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ
يَجِدُ عَظْمًا سَمِينًا, أَوْ مِرْ مَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.
Malik mengabarkan kepada kami,
dari Abu Zinad, dari A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku benar-benar ingin
memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan kayu bakar, lalu aku perintahkan
untuk salat sehingga azan dikumandangkan, lantas aku juga menyuruh seseorang
untuk menjadi imam salat orang-orang. Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang
yang tidak ikut berjamaah dan membakar rumah mereka. Demi Zat yang jiwaku ada
di tangan-Nya, kalau saja salah seorang dari mereka mengetahui bahwa dia akan
mendapatkan daging gemuk atau dua potong daging bagian punggung yang bagus, dia
pasti mendatang salat Isya berjamaah.”[1]
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ, أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
بَيْنَنَا وَبَينَ الْمُنَافِقِينَ شُهُودُ الْعِشَاءِ وَالصُّبْحِ لَا
يَسْتَطِيعُو نَهُمَا. أَوْ نَحْوُ هَذَا.
Malik mengabarkan kepada kami,
dari Abdurrahman bin Harmalah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pemisah antara kami dan orang-orang munafik adalah kehadiran dalam
salat Isya dan Subuh secara berjamaah. Mereka tidak bisa menghadiri kedua salat
tersebut” atau semacam itu.[2]
Asy-Syafi’i
berkata : Tampaknya, apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu keinginan kuat beliau untuk
membakar rumah-rumah kaum tersebut, beliau sampaikan terkait suatu kaum yang
tidak menghadiri salat Isya karena sifat munafik. Wallahu a’lam.
Jadi,
beliau tidak memberikan keringanan kepada orang yang mampu mengerjakan salat
jamaah untuk tidak mendatanginya, kecuali karena ada halangan. Jika seseorang
tidak menghadiri salat jamaah, lalu dia salat sendirian, maka dia tidak wajib
mengulangi salatnya, baik dia mengerjakannya sebelum salatnya imam atau
sesudahnya, kecuali salat Jumat. Karena orang yang mengerjakannya sebagai salat
Zuhur sebelum salatnya imam itu harus mengulanginya karena mendatangi salat
Jumat hukumnya fardu yang terang. Wallahu
a’lam.
Setiap
salat jamaah yang diikuti seseorang, baik di rumahnya atau di masjid, baik di
masjid kecil atau di masjid besar, baik sedikit jamaahnya atau banyak, maka
hukumnya telah sah dan memadai. Namun jamaah di masjid yang paling besar dan
banyak jamaahnya itu lebih saya sukai.
Jika
seseorang memiliki sebuah masjid, di mana dia terbiasa salat jamaah di masjid
tersebut, kemudian dia terlewatkan salat jamaah di masjid tersebut, maka jika
dia mendatangi masjid lain untuk salat jamaah, maka itu lebih saya sukai.
Tetapi jika dia tidak mendatangi masjid lain, melainkan dia salat sendiri di
masjid tersebut maka baik-baik saja.
Jika masjid
memiliki seorang imam tetap, lalu seseorang atau beberapa orang terlewatkan
salat jamaah di masjid tersebut, maka mereka salat sendiri-sendiri. Saya tidak
senang sekiranya mereka salat secara jamaah di masjid tersebut. Tetapi jika
mereka melakukannya, maka jamaah mereka sah. Saya hanya memakruhkannya karena
yang demikian itu bukan termasuk praktik generasi salaf sebelum kita, bahkan
sebagian dari mereka mencelanya.
Asy-Syafi’i
berkata : Saya menduga hal itu dimakruhkan oleh sebagian dari mereka, karena
dapat memecah belah persatuan dan dapat memicu seseorang tidak menyukai salat
di belakang imam jamaah, sehingga dia dan orang lain yang berniat seperti itu
sengaja terlambat datang ke masjid pada waktu salat. Lalu, setelah salat
ditunaikan, barulah mereka masuk dan salat jamaah. Demikian itu dapat
menimbulkan perselisihan dan perpecahan, sedangkan kedua hal tersebut
dimakruhkan.
Saya
memakruhkan hal ini di setiap masjid yang memiliki imam dan muazin. Sedangkan
masjid yang dibangun di pinggir jalan atau di sebuah sudut kota tanpa memiliki
muazin rutin serta tidak memiliki imam tertentu, melainkan masjid tersebut
biasa digunakan salat oleh pengguna jalan dan untuk tempat berteduh bagi
mereka, maka saya tidak memakruhkan hal itu, karena padanya tidak ditemukan
alasan seperti yang telah saya sampaikan, yaitu terpecahnya persatuan umat dan
ketidaksenangan beberapa orang terhadap keimaman seseorang lalu mereka mencari
imam lain.
Jika
seseorang salat secara jamaah di masjid yang memiliki imam, kemudian ada orang
lain yang salat di dalamnya secara jamaah sesudah jamaah pertama, maka saya
memakruhkan dengan alasan seperti yang telah saya sampaikan, tetapi salat
mereka sah.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syafi’i. Al Umm Jilid
2. (Jakarta : Pustaka Azzam, 2014).
[1] HR. Ath-Thabarani
(1/129-130, no. 3); Al Bukhari (1/215-216, no. 644) dari jalur Abdullah bin
Yusuf dari Malik; dan Muslim (1/451, no. 251/651) dari jalur Amr An-Naqid dari
Sufyan bin Uyainah dari Abu Zinad dengan redaksi serupa.
[2] HR. Ath-Thabarani (1/130,
no. 5);
Hadis ini juga diriwayatkan
oleh Malik dari Abdurrahman bin Harmalah dari Said bin Musayyib bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam...
Akan tetapi, dalam Al Umm terdapat periwayat yang mu’dhal (dalam sanadnya gugur dua
periwayat atau lebih). Demikian juga dalam Al
Musnad.
Lihat At-Tartib (1/102, no. 296)
Al Bulqini menjelaskan,
“Seperti inilah hadis ini tertulis dalam manuskrip Al Umm, yaitu : dari Abdurrahman bin Harmalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam... Sanad
hadis ini mu’dhal karena hilang
periwayat dari generasi tabiin dan sahabat sehingga tampak jelas bahwa riwayat
tersebut mu’dhal.”
COMMENTS