Klik gambar di atas untuk mendownload dokumen dalam bentuk Microsoft Word BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi ini...
Klik gambar di atas untuk mendownload dokumen dalam bentuk Microsoft Word
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini banyak kita lihat kesenjangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin. Hal ini salah satunya dikarenakan adanya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan ataupun tidak diaplikasikan dengan maksimal distribusi pendapatan di dalam masyarakat.
Distribusi pendapatan adalah penyaluran pendapatan ke tiap anggota masyarakat dari hasil pekerjaan, jasa atau niaga. Distribusi pendapatan adalah bagaimana tingkat penyebaran pendapatan di suatu wilayah atau daerah.
1.2 Perumusan Masalah
- Apakah pengertian ba’i al-wafa’?
- Apa sajakah rukun dan syarat ba’i al-wafa’?
- Bagaimanakah hukum ba’i al-wafa’?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian ba’i al-wafa’
- Untuk mengetahui rukun dan syarat ba’i al-wafa’
- Untuk mengetahui hukum ba’i al-wafa’
BAB II
Isi
A. Pengertian Ba’i al-Wafa’
Secara etimologis, al’ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan hutang. Ba’i al-wafa’adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke Timur Tengah.
Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ba’i al-wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.[1]Menurut Dr. Nasrun Haroen, ba’i al-wafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi denga syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Artinya, jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya. Misalnya, Ruslan sangar memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada Riadi seharga Rp 10.000,- selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Ruslan akan membeli sawah itu kembali seharga itu penjualan semula, yaitu Rp 10.000,- kepada Riadi. Disebabkan akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh dieksploitasi Riadi selama dua tahun itu dan dapat ia manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Mustafa Ahmad al-Zarqa’ mengatakan, bahwa barang yang diperjualbelikan dalam ba’i al-wafa’adalah barang tidak bergerak, seperti tanah perkebunan, rumah, tanah, perumahan dan sawah.
Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Banyak di antara orang kaya ketika ia tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi uangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Di sini lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang ini, menurut ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.[2]
B. Rukun dan Syarat Ba’i al-Wafa’
Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun dalam ba’i al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu ijab (pernyataan menjual) dan kabul (pernyataan membeli). Dalam jual beli, mereka hanya ijab kabul yang menjadi rukun akad, sedangkan pihak yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang dibeli, dan harga barang, tidak termasuk rukun, termasuk syarat-syarat jual beli.
Demikian juga syarat-syarat ba’i al-wafa’, menurut mereka, sama dengan syarat jual beli pada umumnya. Penambahan syarat untuk ba’i al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu yang berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.[3]
C. Hukum Ba’i al-Wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabuni, dalam sejarahnya, ba’i al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lana dan ba’i al-wafa’telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh, baru kemudian para ulama fiqh, dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasi jual beli ini. Imam Najmuddin an-Nasafi (461-573 H) seorang ulama terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara mengatakan: “para syekh kami (Hanafi) membolehkan ba’i al-wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.
Menurut Abu Zahrah, tokoh fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan ba’i al-wafa’di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H adalah disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapat imbalan apa pun. Hal ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan. Keadaan ini membawa mereka untuk membuat akad tersendiri sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang kaya pun terayomi.
Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap ba’i al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi jual beli ini.[4]Alasan mereka adalah:
1) Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adalanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
2) Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
3) Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat.
4) Jual beli ini merupakan hilah[5]yang tidak sejalan dengan maksud syara’ pensyariatan jual beli.[6]
Namun demikian, para ulama muta’akhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik
bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Bahkan dijadikan hukum positif dalam majalah al-ahkam al-‘adhliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Utsmani) yang disusun pada tahun 1287 H, yaitu satu bab dengan judulba’i al-wafa’, yang mencakup 9 pasal, yaitu Pasal 118-119, dan Pasal 396-403.[7]
Begitu juga dalam hukum positif Indonesia ba’i al-wafa’ telah diatur, dalam Kompilasi Hukum Syariah Pasal 112 s/d 115.
Pasal 112
1) Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, penjual dapat uang seharga barng yang dijual dan menuntut barangnya dikembalikan.
2) Pembeli sebagaimana diatur dalam ayat (1) berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu.
Pasal 113
Barang dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, tidak boleh dijual kepada pihak lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli, kecuali ada kesepakatan di antara para pihak.
Pasal 114
1) Kerugian barang dalam jual beli dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya.
2) Penjual dalam jual beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang telah rusak.
Pasal 115
Hak membeli kembali dalam ba’i al-wafa’dapat diwariskan.
D. Perbedaan Ba’i al-Wafa’ dengan Rahn
Perbedaan antara ba’i al-wafa’ dan rahn adalah sebagai berikut:
1. Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangkan dalam ba’i al-wafa’, barang itu sepenuhnya menjadi milik pembeli selama tenggang waktu yang telah disepakati.
2. Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama di tangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab pemegang barang, sedangkan dalam ba’i al-wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi apabila kerusakannya tidak parah, maka hal itu tidak merusak akad.
3. Dalam ar-rahn segala biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam ba’i al-wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah disepakati.
4. Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang itu ke pihak ketiga.Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada penjual.[8]
BAB III
Penutup
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat mengambil inti sari atas apa yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah sebagai berikut:
- Ba’i al-wafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi denga syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrun Haroen. 2007.Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.[1]Pasal 20 ayat (41).
[2]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, hlm 153.
[3]Ibid, hlm 155.
[4]Menurut Hadis Riwayat Muslim, an-Nasa’i, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah: “Ralulullah SAW melarang jual beli yang diiringi dengan syarat.
[5]Yang dimaksud hilah adalah suatu perbuatan yang pada dasarnya disyariatkan, dilaksanakan sengaja untuk membatalkan hukum syara’ lainnya yang lebih penting. Misalnya, menghibah sebagian harta kepada anak, sementara harta itu sudah satu nishab dan hampir masuk satu haul (wajib zakat). Hibah hukumnya Sunah, sedangkan zakat adalah wajib. Hibah dalam kasus ini dilaksanakan untuk menghindari diri dari kewajiban membayar zakat. Lihat Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-islami wa adillatuhu, Beirut: Dar el-Fikr, 1986, Jilid II, hlm . 136.
[6]Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 156.
[7]Majallah al-ahkam al-adhliyah mulai diberlalukan pada tanggal 23 Sya’ban 1293 H untuk seluruh wilayah kekuasaan imperium Turki Utsmani.
[8][8]Ibid., hlm. 155.
COMMENTS