Dengan mengetahui riwayat hidup, kita dapat menilai kepribadian seseorang. Mempelajari riwayat hidup orang besar adalah penting....
Dengan mengetahui riwayat hidup, kita dapat menilai kepribadian seseorang. Mempelajari riwayat hidup orang besar adalah penting. Seperti Imam Asy-Syafi’i, beliau adalah Imam besar pendiri mazhab Syafi’i.
ImamAsy-Syafi'i yang bernama asli Muhammad lahir pada tahun 150 H (766 M) di Gazah (daerah Israel sekarang). Pada tahun itu wafat Imam Abu Hanifah di Bagdad, pendiri mazhab Hanafi. Imam Asy-Syafi'i adalah anak Idris, anak Abbas, anak Usman, anak Syafi', anak Saib, anak Ubaid, anak Abdul Yazid, anak Hisyam, anak Muthalib, anak Abdul Manaf, anak Qushai. Beliau dikenal dengan nama Asy-Syafi'i diambil dari nama neneknya Syafi'.
Urutan keturunan beliau dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu pada Abdul Manaf, anak Qushai. Ibunya adalah Fatimah, anak Ubaidillah, anak Hasan (cucu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), anak Ali, anak Abu Thalib. Imam Asy-Syafi'i termasuk keturunan suku Quraisy jika dilihat dari keturunan ibu bapaknya.
Ayahnya datang di Gazah untuk mencari penghidupan dan meninggal setelah tidak begitu lama lahirnya Asy-Syafi'i dalam kemiskinan. Dengan demikian, dia tinggal bersama ibunya. Ibunya membawanya ke Askalan, yang tidak begitu jauh dengan Gazah. Sesudah berumur dua tahun, ibunya membawanya ke Mekah. Ibunya takut anaknya terlantar jika terus tinggal di perantauan. Jauh dari keluarga dan sukunya Quraisy.
A. Pendidikan Imam Asy-Syafi'i
Di Mekah, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i hidup dalam kemiskinan. Ia suka bergaul sesama anak-anak. Ia sangat cerdik dan mudah menghafal apa yang didengarnya dari teman-temannya. Pada usia tujuh tahun, ia belajar membaca Alquran pada Syekh Ismail bin Kustantin, seorang yang ahli dalam membaca Alquran yang terkenal di Mekah pada saat itu.
Di umur sembilan tahun, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i sudah menghafal Alquran dengan baik dan memahami artinya. Ketika ia berusia tiga belas tahun, terjadi suatu peristiwa di Masjidil Haram Mekah yang tidak terlupakan. Yaitu ketika ia membaca Alquran, maka semua pendengarnya mendengar dengan khusyuk dan penuh keharuan. Sampai mereka menangis. Mereka kemudian selalu mengatakan: “Apabila kami ingin menangis, maka kami mengatakan kepada sesama kami: “Marilah kita datang kepada Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang akan membaca Alquran!” Apabila kami datang kepadanya, lalu ia mulai membaca Alquran. Sehingga kami berjatuhan di hadapannya, dari kerasnya menangis. Apabila ia melihat demikian, lalu ia berhenti”.
Ia memahami Alquran dan memberi kesan kepada para pendengarnya. Pemuda Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i selalu berada di Masjidil Haram. Ia duduk-duduk di samping para ulama dan mengahaf hadis maupun ilmu yang didengarnya dari mereka.
Ketika berumur dua belas tahun, ia berhasrat hendak ke Madinah ingin belajar pada Imam Malik bin Anas. Dalam hal ini Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i pernah berkata bahwa saya telah hafal Al-Muwaththa’, sebelum saya datang kepada Imam Malik. Ketika itu umur saya dua belas tahun untuk saya bacakan kepadanya. Beliau memandang saya masih kecil. Maka beliau berkata kepada saya: “Akan saya cari orang yang akan membacakannya bagimu”.
Pada saat Asy-Syafi’i belajar pada Imam Malik, sering diminta membantu membacakan Al-Muwaththa’ kepada murid-murid yang lain. Dari itu Imam Asy-Syafi’i sangat terkenal di kalangan masyarakat kota Madinah. Hampir sepuluh tahun Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i belajar pada Imam Malik, dengan tekun dan dalam suasana tenang. Di antara murid-murid Imam Malik yang lain ialah Al-Mughirah bin Abdurrahman dan Mu’in bin Isa Al-Qazzaz. Mu’in ini yang membacakan Al-Muwaththa’ kepada Hanurur Rasyid dan dua orang putranya Al-Amin dan Al-Ma’mun.
Imam Malik memegang Asy-Syafi’i ketika keluar dari masjid Madinah karena lanjut usianya. Sehingga Asy-Syafi’i dinamakan “Tongkat Malik”. Antara murid dengan gurunya itu begitu erat hubungannya. Murid bergantung dengan gurunya dan guru bergantung dengan muridnya. Imam Malik pernah berkata: “Belum pernah datang kepadaku seorang Quraisy yang lebih pandai dari pemuda ini”.
Pada suatu hari pemuda Asy-Syafi’i melihat banyak kuda dari Khurasan dan Mesir di pintu Imam Malik. Maka ia berkata kepada Imam Malik: “Alangkah bagusnya semua kuda ini!” Tuan guru lalu menjawab: “Semuanya hadiah dariku kepadamu”. Asy-Syafi’i lalu berkata: “Ambillah seekor untuk tuan guru sendiri, yang akan tuan guru pakai!” Imam Malik menjawab: “Aku malu kepada Allah Ta’ala, bahwa aku memijak tanah, yang di dalamnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dengan kuku kuda”. Dari itu Imam Malik tidak pernah sekali-kali terlihat berkendaraan di Madinah.
Kalau tidaklah demikian erat hubungan antara sang murid dengan gurunya, niscaya Asy-Syafi’i pulang ke negerinya seperti yang diperbuat oleh puluhan murid-murid Imam Malik yang lain. Imam Syafi’i demikian bangga dengan gurunya. Sehingga ia mengatakan: “Apabila disebutkan ulama, maka Malik itu bintangnya yang gemerlapan. Dan tidak ada kitab di bumi tentang fikih dan ilmu yang lebih banyak betulnya dari kitab Malik. Dan kalau tidak adalah Malik dan ‘Uyainah, niscaya hilanglah ilmu negeri Hijaz”. Dan lain-lain dari ucapannya.
Asy-Syafi'i sangat mengutamakan ilmu pengetahuan dan disiplin. Ia membagikan waktu malamnya menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk menulis ilmu pengetahuan, sepertiga untuk salat dan ibadah yang lain dan sepertiganya lagi untuk tidur dan istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Yakub. 1989. Al-Umm (Kitab Induk) Al-Imam-Asy-Syafi’i.R.A. Jilid 1. Kuala Lumpur. Victory Agencie.
COMMENTS