Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah saw. memasuki tempat salat dan dilihatnya orang-orang sedang bercakap-cak...
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah saw. memasuki tempat salat dan dilihatnya orang-orang sedang bercakap-cakap. Beliau bersabda, “Kalau saja kalian mengingat ‘sang pemusnah kenikmatan’, pasti akan disibukkan oleh kematian. Maka perbanyaklah mengingat kematian. Sesungguhnya tidaklah seorang dari kalian dimakamkan, kecuali kubur itu akan berbicara padanya, ‘Aku tempat yang asing. Satu-satunya tempat bagimu. Aku tempat yang terbuat dari tanah, tempat para binatang tanah.’
Jika yang dimakamkan adalah seorang mukmin, kubur itu berkata, ‘Selamat datang. Engkaulah orang yang paling aku cintai di antara sekian orang yang berjalan di atasku. Akulah yang menjadi penguasamu, dan engkau menjadi penghuniku. Akan kau alami apa yang aku perbuat untukmu.’” Beliau melanjutkan sabdanya, “Maka, diluaskanlah kuburnya sejauh ia memandang, dan dibukalah pintu surga.
Tetapi, kalau yang dikubur adalah seorang fajir atau kafir, ia berkata, ‘Celakalah kau! Kau adalah orang yang paling kubenci di antara manusia yang berjalan di atasku. Kini aku menjadi penguasamu, dan engkau menjadi penghuniku. Akan kau alami apa yang aku perbuat untukmu.’” Beliau melanjutkan sabdanya, “Kemudian kubur itu menjepit dirinya, sehingga badannya remuk.”
Abu Sa’id melanjutkan, Rasulullah saw. bersabda sambil menganyam tangannya, “Allah menakdirkan baginya tujuh puluh ular naga, yang jika seekor naga itu menyembur ke bumi, musnahlah apa yang ada di dalamnya. Ular-ular itu meremuk dan mencabik-cabik tubuhnya, terus-menerus hingga datang hari perhitungan. Sesungguhnya kubur itu adalah bagian dari taman surga atau bagian dari jurang neraka.”[1]
Dari Abdullah bin Ubaid, ia berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa ketika mayit telah diletakkan di kubur, ia mendengar suara langkah orang yang melayatnya (Al-Wakhdzu). Tak ada yang mengajak bicara kepadanya pertama kali selain kuburnya.
Ia berkata, ‘Celakalah wahai anak Adam. Bukankah engkau telah diperingatkan tentang diriku? Diperingatkan tentang kesempitan, kegelapan, bau busuk dan binatang-binatang yang ada di dalamku? Inilah yang kupersiapkan untuk menyambut kedatanganmu. Lalu apa yang kau persiapkan untuk menghadapiku?’”[2]
Ibn Atsir berkata dalam An-Nihayah (164/5), “Al-Wakhdzu adalah suara sandal yang berjalan di atas tanah.” Al-Qurthubi berkata dalam At-Tadzkirah, “Al-Wakhdzuadalah berjalan dengan cepat.”
Ibn Abi Al-Barr meriwayatkan dalam At-Tamhiddengan isnadnya dari Ibn A’idz dari Ghudaif bin Al-Harits dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash, berkata, “Sesungguhnya kuburan akan berkata kepada seseorang yang baru dimakamkan, ‘Wahai anak Adam, apa yang membuatmu lalai dariku? Bukankah engkau tahu, bahwa aku adalah tempat satu-satunya bagimu? Tempat yang gelap tetapi nyata. Apa yang membuatmu berpaling dariku, padahal sebelumnya kadang engkau berjalan di sekitarku (fidada).’”
Ibn A’idz bertanya kepada Ghudzaif, “Apa yang dimaksud dengan fidada?” Ia menjawab, “Berjalan di sekitarnya dalam masa-masa tertentu.”
Ghudzaif berkata bahwa Abdullah bin Ubaid bin Umair berkata kepada Abdullah bin Amru, “Kalau ia seorang mukmin, kuburnya akan diluaskan. Apa yang ia peroleh dengan perluasan itu?” Dijawab, “Kuburnya akan diluaskan, dijadikan sebagai tempat tinggal yang hijau, sementara rohnya naik ke hadapan Allah.”[3]
Dari Abdullah bin Ubaid bin Amir, ia berkata, “Allah menciptakan lisan bagi kubur hingga ia dapat berkata, ‘Wahai anak Adam, mengapa engkau melupakanku? Bukankah kau telah tahu, bahwa aku adalah satu-satunya tempat bagimu, yang dipenuhi binatang tanah dan mengerikan?’”[4]
Ia berkata lagi, “Suatu ketika kubur menangis. Dalam tangisannya ia merintih, ‘Aku adalah tempat yang mengerikan. Aku tempat menyendiri, dan aku adalah tempat cacing (binatang tanah).’”
Dari Abdullah bin Ubaid bin Umair berkata, “Allah menciptakan lisan bagi kubur yang membuatnya bisa berkata, ‘Wahai anak Adam, bagaimana kau bisa melupakanku? Bukankah kau tahu bahwa aku adalah tempat yang dipenuhi binatang-binatang tanah, dan satu-satunya tempat bagimu yang mengerikan?’”
Ia melanjutan, “Kubur juga bisa menangis. Dalam tangisnya ia berkata, ‘Aku adalah tempat tinggal yang mengerikan. Tempat yang dipenuhi oleh binatang-binatang tanah.’”
Yazid bin Sakhirah berkata, “Kuburan berkata kepada orang kafir atau fajir, ‘Apakah kau tidak ingat akan kegelapan, kengerian dan kesempitan yang ada pada diriku?’”
Ubaid bin Umair berkata, “Setiap mayit akan disambut oleh lahad yang digunakan untuk menguburnya, ‘Akulah tempat yang gelap, sendiri dan satu-satunya. Jika selama hidup engkau adalah muthi’(orang-orang yang taat) kepada Allah, hari ini aku menjadi rahmat bagimu.
Tetapi jika semasa hayat engkau bermaksiat kepada Tuhanmu, sekarang aku menjadi azab bagimu. Aku adalah tempat yang ketika seorang muthi’ masuk ke dalam, kelak akan keluar dengan perasaan gembira. Dan siapa yang memasukiku sebagai orang yang bermaksiat, akan keluar dariku sebagai orang yang celaka’”
Muhammad bin Shubaih berkata, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa seseorang dikubur, dan mendapat azab atau sesuatu yang dibencinya. Lalu tetangganya sesama mayit berkata, ‘Wahai orang yang dulunya menggantikan kedudukan temannya yang sudah meninggal lebih dulu, apakah engkau telah mengambil i’tibar (pengajaran) dari apa yang kami alami?
Apakah meninggalnya kami lebih dulu daripada kamu, menjadi bahan renunganmu? Bukankah engkau telah tahu, amal kami terputus di sini, tetapi engkau tidak menghiraukan? Apakah engkau menemukan sesuatu yang hilang daripadamu?’
Dan gumpalan-gumpalan tanah pun ikut berkata, ‘Wahai yang tertipu dengan kesenangan dunia, tidakkah engkau mengambil pengajaran dari saudaramu, yang juga telah tertipu oleh dunia, lalu ajal menghantarkannya ke kubur, kemudian hilang ditelan bumi? Engkau telah melihat dia dibawa ke tempat yang harus dimasukinya (kubur), diiringi isak tangis orang-orang tercinta.’”
DAFTAR PUSTAKA
A’idh Al-Qarni, dkk. 2004. Malam Pertama di Alam Kubur. Solo. Aqwam.
[1] Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (2460) kitab Sifatu Al-Qiyamah. Ia berkata, “hadis gharib.” Hadis ini didaifkan oleh Syekh Al-Albany dalam Dha’if At-Tirmidzi (437) danDha’if Al-Jami’ (1231). Sementara pengarang kitab At-Tahrir Al-Murassakh menghasankannya.
[2] Dikeluarkan oleh Ibn Al-Mubarak dalam Al-Zuhd dari riwayat Nu’aim bin Hammad dalam Nuskhahnya hal. 41 no. 163 terbitan Dar Al Kutub Al-‘Ilmiyah dengan tahqiq Habib Ar-Rahman Al-A’dhamy. Al-Hafid Al-Iraqy berkata dalam Takhrij Al-Ikhya’, “Dikeluarkan oleh Ibn Abi Ad-Dunya dalam Al-Qubur secara mursal dan rijalnya tsiqqah (terpercaya), dan diriwayatkan oleh Ibn Al-Mubarak dalam Az-Zuhd. Tetapi ia berkata, ‘Telah sampai kabar kepadaku,’ bukan marfu.’”
[3] At-Tamhid, Ibnu Abd Al-Barr 18/145, terbitan Maktabah Ibn Taimiyyah.
[4] Disebut oleh Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah hal. 108 dengan isnad yang rijalnya terpercaya.
COMMENTS