Image by Rob Smits A. Pengertian Ijarah Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah ijarah atau sewa-menyewa, kontrak, menjual ...
Image by Rob Smits |
A. Pengertian Ijarah
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah ijarahatau sewa-menyewa, kontrak, menjual jasa, upah-mengupah dan lain-lain. Al-Ijarah berasal dari kata Al-Ajru yang berarti Al-‘Iwaḍu (ganti)[1]. Ijarah menurut arti bahasa adalah nama upah. Menurut pengertian syara’, Al-Ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa-menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak kurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja. Dalam syariat Islam, ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama:
a. Menurut Hanafiyyah yang dikutip oleh Hendi Suhendi mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan.[2]
b. Ulama Mazhab Syafi’i yang dikutip oleh Rachmat Syafe’i mendefinisikannya ijarah sebagai transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu.[3]
c. Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah yang dikutip oleh Racmat Syafe’i mendefinisikannya ijarah sebagai pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[4]
d. Menurut Sayyid Sabiq yang dikutip oleh Hendi Suhendi bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
e. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie yang dikutip oleh Hendi Suhendi bahwa ijarah ialah akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.
Dalam istilah hukum Islam, orang yang menyewakan disebut mu’ajjir, sedangkan orang yang menyewa disebut musta’jir, benda diistilahkan ma’jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang disebut ajran atau ujrah. Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa-menyewa atau upah-mengupah berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yang menyewakan (mu’ajjir) wajib menyerahkan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir). Dengan diserahkan manfaat barang atau benda maka penyewa wajib pula menyerahkan uang sewanya (ujrah).[5]
Senada dengan pengertian di atas, Rahmat Syafe’i yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubismendefinisikan ijarah secara etimologi sebagai menjual manfaat sedangkan jumhur ulama fikih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Selain itu juga ada yang menerjemahkan bahwa ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, dan ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Jadi dalam hal ini, ijarah dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.[6]
Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya atau didefinisikan pula sebagai menjual manfaat dan upah-mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.
B. Dasar Hukum Ijarah
Al-Ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat Alquran, hadis-hadisNabi dan ketetapan ijmak ulama.
Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah dalam Alquran terdapat dalam beberapa ayat di antaranya firman Allah antara lain:
1. Alquran surah At-Thalaq ayat 6
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditala) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”[7]
2. Alquran surah Al-Qashash ayat 26
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦
Salah seorang dari wanita itu berkata, “Wahai bapakku, upahlah dia, sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”[8]
Adapun dasar hukum dari hadis Nabi di antaranya adalah:
1. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam, kemudian beliau memberikan upah kepada tukang-tukang itu.”
2. Riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
”Berikanlah upah atau jasa kepada orang yang diupah sebelum kering keringatnya.”
Adapun dasar hukum ijarah berdasarkan ijmak ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap. Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.[9]
Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkannya ijarahitu adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, di pihak lain ada yang punya tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling mendapat keuntungan dan memperoleh manfaat.
C. Rukun dan Syarat-Syarat Ijarah
Ijarah merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Dari segi ini, ijarah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, ijarah yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut persewaan. Misalnya menyewa rumah, pertokoan, kendaraan, dan lain sebagainya. Kedua, ijarah yang mentransaksikan manfaat SDM (Sumber Daya Manusia) yang lazim disebut perburuhan.[10]
Oleh karena itu, transaksi ijarah dalam kedua bentuknya sebagai transaksi umum akan sah bila terpenuhi rukun dan syarat. Adapun rukun dan syaratnya sebagai berikut:
1. Rukun Ijarah
Rukun dari ijarah sebagai suatu transaksi adalah akad atau perjanjian kedua belah pihak, yang menunjukkan bahwa transaksi itu telah berjalan secara suka sama suka. Adapun unsur yang terlibat dalam transaksi ijarah itu adalah:
a. Orang yang menggunakan jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang kemudian memberikan upah atas jasa tenaga atau sewa dari jasa benda yang digunakan, disebut pengguna jasa (mūjir).
b. Orang yang memberikan, baik dengan tenaganya atau dengan alat yang dimilikinya, yang kemudian menerima upah dari tenaganya atau sewa dari benda yang dimilikinya, disebut pemberi jasa atau (musta’jir).
c. Objek transaksi yaitu jasa, baik dalam bentuk tenaga atau benda yang digunakan disebut (ma’jur).
d. Imbalan atau jasa yang diberikan disebut upah atau sewa (ujrah).
Menurut jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijarah itu ada empat, sebagai berikut:
a. ‘Aqid (orang yang berakad)
‘Aqid adalah orang yang melakukan perjanjian/transaksi, yaitu orang yang menyewakan (mu’jir) dan orang yang menyewa (musta’jir).
b. Sigat akad
Sigat akad adalah pernyataan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau transaksi.
c. Ujrah (upah)
Ujrah adalah memberi imbalan sebagai bayaran kepada seseorang yang telah diperintah untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan tertentu dan bayaran itu diberikan menurut perjanjian yang telah disepakati bersama.
d. Manfaat
Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun. [11]
2. Syarat ijarah
Supaya transaksi ijarah itu bisa dianggap sah, maka ada beberapa syarat yang mengiringi beberapa rukun yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi:
a.‘Aqid
Kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan memiliki kemampuan, yaitu berakal dan dapat membedakan (baik dan buruk). Jika salah satu pihak adalah orang gila atau anak kecil, akadnya dianggap tidak sah. Para penganut Mazhab Syafi’i dan Hambali menambah syarat lain, yaitu balig.[12]Jadi, menurut mereka, akad anak kecil meski sudah tamyiz, dinyatakan tidak sah jika belum balig. Berbeda dengan kedua Mazhab di atas, Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa orang yang melakukan akad tidak harus mencapai usia balig, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dengan ketentuan disetujui joleh walinya.[13]
b. Sigat akad antara mu’jir dan musta’jir
Syarat sah sigat akad dapat dilakukan dengan lafaz atau ucapan dengan tujuan orang yang melakukan perjanjian atau transaksi dapat dimengerti. Berkaitan dengan hal tersebut umum dilakukan dalam semua akad, karena yang dijadikan pedoman dalam ijab qabul adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh dua orang yang melakukan akad sehingga tidak menimbulkan keraguan dan pertentangan. Selain itu, ketentuan umum yang ada dan menjadi pedoman hukum apabila perkataan yang dinyatakan adalah sesuai dengan niat dan kehendak dalam hati yang dinamakan sigat yang dapat dilakukan dengan secara lisan, tulisan dan isyarat yang memberikan yang jelas tentang adanya ijab qabul.
c. Ujrah (upah)
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu: pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut. Upah (ujrah) dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Upah yang telah disebutkan (ajr al-musamma), yaitu upah yang telah disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima oleh kedua belah pihak).
2. Upah yang sepadan (ajr al-miṭli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksudnya adalah harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang sejenis pada umumnya.[14]
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq sebuah akad sewa (ijarah) dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Kerelaan kedua pihak pelaku akad. Apabila salah satu pihak dipaksa untuk melakukan akad, maka akadnya dinyatakan tidak sah sebagaimana yang telah disebutkan dalam Alquran surah An-Nisa ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
2. Mengetahui manfaat barang tersebut dengan jelas guna mencegah terjadinya fitnah. Upaya dilakukan dengan melihat langsung barang. Atau cukup dengan penjelasan akan kriteria barang termasuk masa sewa, sebulan atau setahun.
3. Barang yang menjadi objek akad dapat diserahterimakan pada saat akad, baik secara fisik atau definitive.
4. Barang dapat diserahterimakan, termasuk manfaat yang dapat digunakan oleh penyewa.
5. Manfaat barang tersebut status hukumnya mubah, bukan termasuk yang diharamkan.
D. Sigat Akad Ijarah
Sigat akad ijarah dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain sebagai berikut:
1. Sigat akad secara lisan
Cara alami untuk menyatakan keinginan bagi seseorang adalah dengan kata-kata. Maka, akad dipandang telah terjadi apabila ijab dan qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak bersangkutan. Bahasa apa pun, asal dapat dipahami pihak-pihak bersangkutan, dapat digunakan. Susunan kata-katanya tidak terikat dalam bentuk tertentu. Yang penting, jangan sampai mengaburkan yang menjadi keinginan pihak-pihak bersangkutan agar tidak mudah menimbulkan persengketaan di hari yang akan datang.
2. Sigat akad dengan tulisan
Tulisan adalah cara alami kedua setelah lisan untuk menyatakan sesuatu keinginan. Maka, jika dua pihak yang akan melakukan akad tidak ada di satu tempat, akad itu dapat dilakukan melalui syarat yang dibawa seseorang utusan atau melalui pos. Ijab dipandang terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat yang dimaksud. Jika dalam ijab qabul tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat yang dikirim dengan perantaraan utusan atau lewat pos. Bila disertai pemberian tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lama tenggang waktu tersebut.
3. Sigat akad dengan isyarat
Apabila seseorang tidak mungkin menyatakan ijab dan qabul dengan perkataan karena bisu, akad dapat terjadi dengan isyarat. Namun, dengan syarat ia pun tidak dapat menulis sebab keinginan seseorang yang dinyatakan dengan tulisan lebih dapat meyakinkan dari pada yang dinyatakan dengan isyarat. Maka, apabila seseorang bisu yang dapat menulis mengadakan akad dengan isyarat, akadnya dipandang tidak sah.
4. Sigat akad dengan perbuatan
Cara lain untuk membentuk akad, selain secara lisan, tulisan atau isyarat, ialah dengan cara perbuatan. Misalnya, seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu, kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya. Cara ini disebut jual beli saling menyerahkan harga dan barang (jual beli dengan mu’aṭah). Misalnya, dalam akad sewa-menyewa, kita naik bis kota. Tanpa kata-kata kita serahkan saja sejumlah uang seharga karcis bis tersebut. Sewa-menyewa seperti itu disebut sewa-menyewa dengan mu’aṭah juga. Dalam dunia modern sekarang ini, akad jual beli dapat terjadi pula secara otomatis. Kita masukkan uang dalam suatu alat, lalu keluar sesuatu yang kita beli setelah kita menekan tombol pada alat tersebut. Jual beli seperti ini dapat dimasukkan dalam akad dengan mu’aṭah juga. Yang penting dalam mu’aṭah, untuk menumbuhkan akad itu, jangan sampai terjadi semacam penipuan, kecurangan dan sebagainya. Segala sesuatunya harus dapat diketahui dengan jelas.
Jadi, sigat akad dalam ijarah syaratnya antara mu’jir dan musta’jir harus saling rela tidak boleh mengandung unsur paksaan. Karena dengan adanya paksaan menyebabkan perjanjian atau akad menjadi tidak sah.
E. Macam-Macam Ijarah
Di lihat dari segi objeknya, ijarah dapat dibagi menjadi dua macam: yaitu ijarahyang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan.[15] Pertama, ijarah yang bersifat manfaat misalnya: sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin) dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fikih sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa.
Kedua, ijarah yang bersifat pekerjaan adalah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu dan lain-lain, yaitu ijarah yang bersifat kelompok (serikat). Ijarahyang bersifat pribadi juga dapat dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah tangga, tukang kebun dan satpam.
Dalam hal ini, ijarah yang bersifat pekerjaan atau upah-mengupah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ijarah khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
2. Ijarah musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya, dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
F. Sifat dan Hukum Ijarah
a. Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang boleh dibatalkan. Sebaliknya menurut jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusaknya, seperti hilangnya manfaat.
Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris, adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli waris.
b. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih adalah tetapnya hak milik atas manfaat bagi penyewa dan tetapnya hak milik atas uang sewa atau upah bagi yang menyewakan. Hal ini boleh karena akad ijarah adalah akad mu’awadhah, yang disebut dengan jual beli manfaat.
G. Ijarah Al-Muntahiya Bit Tamlik
1. Pengertian Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Ijarah muntahiya bit tamlik adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini yang membedakan ijarah ini dengan ijarah biasa. Ijarah muntahiya bit tamlik memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontrak. Misalnya ijarah dan janji menjual, nilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah, harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan pemindahan.[16]
2. Aplikasi dalam Perbankan
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan ijarah muntahiya bit tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasingmaupun sesudahnya.
H. Berakhirnya Perjanjian Ijarah
Pada dasarnya perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian yang lazim, masing masing pihak yang terikat dalam perjanjian tidak berhak membatalkan perjanjian (tidak mempunyai hak fasakh) karena termasuk perjanjian timbal balik. Bahkan, jika salah satu pihak (yang menyewa atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian sewa-menyewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh ahli waris. Namun tidak tertutup kemungkinan pembatalan perjanjian (fasakh) oleh salah satu pihak jika ada alasan atau dasar yang kuat.[17]
Adapun hal-hal yang menyebabkan ijarahfasakh (batal) sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
3. Rusaknya barang yang diupahkan, seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Edisi 1 Cetakan ke-9. Jakarta. Rajawali Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung. Pustaka Setia.
Mas’adi, A Ghufron. 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Lubis, K Suhrawardi. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
http://digilib.uinsby.ac.id/11223/8/bab2.pdf
Wardi, Ahmad Muslich. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta. Amzah.
[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Rajawali Pers: Jakarta, h.114.
[2]Ibid., h.114
[3]Racmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia: Bandung, h.121.
[4]Ibid., h.122.
[5]Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika: Jakarta, h.144.
[6]Rahmat Syafe’i, Ibid., h.121-122
[7]Hendi Suhendi, Ibid., h.116.
[8]Ibid.,
[9]Racmat Syafe’i, Ibid., h.124.
[10]Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, h.183.
[11]Rachmat Syafe’i, Ibid., h.125.
[12]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin,... h.205.
[13]M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,...h.231.
[14]http://digilib.uinsby.ac.id/11223/8/bab2.pdf , 1 Maret 2016.
[15]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, Amzah: Jakarta, h.329.
[16] http://dianasafitri.blogspot.in/2013/05/ijarah-dan-aplikasinya-dalam-lembaga-keuangan-syariah.html, 19 Maret 2016.
[17]Suhrawardi K. Lubis, Ibid., h.148-149
[18]Hendi Suhendi, Ibid., h.122.
COMMENTS